Dingin atau Panas Pengap?


Dingin atau Panas Pengap?
Kritik arsitektur interpretatif evokatif untuk rumah kaca di Taman Menteng, Jakarta


Rumah yang dibangun dengan batu, genting, kayu, anyaman bahan alami, diberi finishing cat, rangkanya yang berupa baja diekspos, wajah bangunan yang diberi perlakuan arsitektural secara khusus, bentuk jendela, bentuk atap – beragam konstruksi tersedia untuk memberikan fungsi yang memberi manfaat (daya guna) pada sebuah bangunan, tempat, rumah, atau yang lainnya, sebagaimana ungkapan Mangunwijaya: “… Lingkungan masalah guna, dan lingkungan masalah citra”.
Masalah konstruksi sudah terlewat. Sekarang, bagaimana jika suatu konstruksi dilihat atau diletakkan dengan suasana yang berbeda-beda – waktu yang berbeda, pencahayaan, cuaca, keramaian, kebisingan, kualitas udara, atmosfer, dan konteks yang berlainan? Hasilnya adalah tidak hanya citra yang berbeda-beda. Akan tetapi, melebihi dari sesuatu yang dapat melekat kepada pemahaman yang dihasilkan melalui proses berpikir seseorang, yaitu emosi, yang demikian bervariasi.
Berbagai pengalaman yang dilalui memberi pelajaran bahwa emosi datang dari tangkapan indera. Kemudian, dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar, manusia terpaku kepadanya – mendalami, menghayati, merasakan setiap perjalanan. Lalu, suatu pandangan atau perasaan tersimpan pada amatan tempat tangkapan indera berasal. Dan, berbeda pula ketika amatan itu adalah orang, hewan, kendaraan, bangunan, jalan, tumbuhan. Berbeda pula ketika amatan diiringi dengan pengetahuan, kesadaran, ketajaman.
Kita mengetahui bahwa air adalah sumber kehidupan. Sebagian besar bumi adalah air. Untuk dapat meminum minuman bubuk, kita membutuhkan air sebagai pelarut – air adalah pelarut seperti plasma dalam darah. Ketika meminum air dingin, kesegaran dirasakan. Kedinginan setelah dihujani hujan (air) di jalan, air hangat di rumah menghangatkan. Rasa panas dari udara panas meninggalkan tubuh karean adanya air dingin. Dari banyak pengalaman itu, kita mengenal air dari berbagai sifat – wujud, suhu, kekentalan, rasa, kejernihan, kealamian, transparansi. Dari banyak pengalaman itu, kita teringat air atau teringat pengalaman yang berhubungan dengannya saat menemui wujud, suhu, kekentalan, rasa, kejernihan, kealamian, dan transparansi, yang serupa:
Ada kesegaran. Ini seperti meminum air”
“Benar-benar jernih seperti air”
“Aku bisa melihat pantulan wajahku pada jendela ini sebagaimana saat aku merenung di tepi sungai”
“Kepiting itu tenggelam dalam pasir seperti garam yang larut dalam air”
“Setelah perjalanan panas di luar, masuk ke ruangan dingin ini seperti meminum air dingin”
“Penerapan kaca transparan ini begitu menyatu dengan air yang mengalir di permukaannya”
Seperti contoh pandangan terakhir mengenai kaca dan air, pernahkah terlintas dalam pikiran tentang hubungan keduanya, terutama penerapannya pada bangunan? Ya, keduanya bersifat transparan. Rumah kaca di Taman Menteng, Jakarta, adalah hal yang paling aku ingat mengenai interaksi kaca dan air. Mungkin tujuh tahun lalu, pertama kali aku melihatnya dari dalam mobil di jalan yang saat itu rasanya baru aku lewati, entah pada sisi utara, timur, selatan, atau barat taman itu. Saat itu hujan dan agak macet. Jalan itu begitu terasa publik. Dari dalam kendaraan yang aku naiki dengan pendinginan udara, dengan cuaca hujan deras di luar, dengan banyak tetes air hujan yang menempel di kaca mobil sisi kanan, dengan visibilitas yang berkurang dan samar-samar secara basah dan tajam, dengan percikan tetes air yang tidak terhitung jumlahnya jatuh ke jalan, dengan sedemikian suasana hujan deras di jalan Jakarta yang bisa kalian bayangkan, rumah kaca di Taman Menteng itu terlihat begitu cocok dan menyatu dengan suasana saat itu. Dingin dengan dingin, basah dengan basah, percikan keras dengan bahan keras, transparan dengan transparan, licin dengan licin. Terlihat akses taman, yang tampaknya akses depan, yang mengagumkan seperti menunggu untuk dikunjungi. Kaca dengan air – yang terasa pada saat itu adalah dingin.
Pengalaman itu terasa berbeda sekali saat aku mengunjungnya satu setengah tahun lalu pada pukul 2 atau 3 siang pada hari Minggu. Tentu saat itu sudah mulai sore. Siang yang memang tidak begitu panas, angin sejuk masih terasa. Sesampainya di sana, ternyata tidak semengagumkan dahulu. Akses taman dari tempat aku sampai begitu datar. Dilihat dari situ, pengunjung agak ramai. Saat berjalan ke dalam, pengunjung sangat ramai. Mulailah aku mengenali fitur-fitur di dalam area taman itu. Orang bersepeda di lapangan, duduk, berkumpul, berinteraksi, ramai yang ramah tanpa mengganggu satu sama lain. Saat melalui rumah kaca itu dengan dekat, terbayang rasa yang lain, bahkan saat memandangnya tujuh tahun itu. Terbayang pengap yang akan dirasakan jika berada di dalam rumah itu pada siang hari yang panas. Tentunya panas dari sinar matahari akan masuk dan memanasi udara di dalamnya. Namun, dengan seluruh penutup bangunan berupa kaca transparan tanpa bukaan yang terlihat saat itu, bagaimana panas keluar untuk mencapai kenyamanan termal? Udara panas akan berkeliaran di permukaan lantai, dinding, hingga langit-langit seperti sesuatu yang siap menyiksa penghuni dengan panas yang menyesakkan. Dengan kata lain, itu akan terasa panas pengap – kaca dengan panas.
Mungkinkah karena suasana yang berbeda, cara pandang yang berbeda, emosi yang berbeda, atau keduanya memang fenomena yang berbeda?!

Sesampainya di Taman Menteng
(Dokumentasi pribadi, 16 April 2017)

Terbayang rasa panas pengap saat melihat rumah kaca lebih dekat
(Dokumentasi pribadi, 16 April 2017)

  

  

Komentar

Postingan Populer