Meester Cornelis, 'Tempat Tinggal' Keindahan Arsitektur Bergaya Indis (Tinjauan Manusia dan Keindahan)

Meester Cornelis, 'Tempat Tinggal' Keindahan Arsitektur Bergaya Indis
(Tinjauan Manusia dan Keindahan)


1.             Kawasan Meester Cornelis

Meester Cornelis adalah nama kecamatan yang terletak di Jakarta Timur. Nama itu berasal dari Cornelis Senen, seseorang yang berasal dari Lontor, Kepulauan Banda, Maluku. Setelah tanah asalnya dikuasai kompeni, Senen mulai bermukim di Batavia pada 1621, tepatnya di Kampung Bandan. Dengan tekun, ia mempelajari agama Kristen, sehingga dapat mengajarkannya kepada kaum sesukunya. Ia dapat berkhotbah dengan baik dalam bahasa Melayu dan Portugis. Sebagai guru dan kepala kampong, ia diberi gelar Meester, yang artinya tuan guru.

Meester Cornelis mulai muncul dalam sejarah kota Jakarta pada pertengahan abad ke-17 dengan didirikannya izin pembukaan hutan pada kawasan itu (kira-kira 15 – 20 km dari Batavia) oleh Belanda kepada Cornelis Senen. Pada 1661, Cornelis Senen membeli tanah di daerah aliran sungai Ciliwung. Tanah itu kemudian ia gunakan untuk membuka hutan dan menebang pohon jati. Sejak dibangunnya jalan raya Daendels, tanah yang dimilikinya sendiri ini berkembang pesat menjadi permukian dan pasar yang ramai. Pada akhirnya dan hingga saat ini, masyarakat menyebutnya Meester Cornelis atau Mester.

 Nama Jatinegara baru muncul pada masa pendudukan Jepang, sekitar tahun 1942. Nama Meester Cornelis yang masih berbau Belanda, diganti dengan nama Jatinegara. Nama Jatinegara diambil dari Jatina Nagara yang berarti simbol perlawanan Kesultanan Banten terhadap kolonial Belanda pada saat itu. Kini, kecamatan itu dikenal dengan nama Jatinegara. Selain, Glodok di Jakarta Barat, Jatinegara juga merupakan pecinan besar yang ada di Jakarta.

2.             Arsitektur Bergaya Indis

Percampuran gaya hidup Belanda dengan gaya hidup pribumi, khususnya Jawa, sebagai dampak masa penjajahan Belanda di Indonesia melahirkan bentuk kebudayaan baru yang disebut sebagai gaya hidup Indis. Kata “Indis” berasal dari bahasa Belanda Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda, yaitu nama daerah jajahan Belanda di seberang lautan yang secara geografis meliputi jajahannya di kepulauan Nederlandsch Oost Indie (Soekiman, 2000). Wujud kebudayaan yang dominan dipengaruhi gaya Indis adalah bentuk bangunan atau arsitektur yang bangunan ini pada mulanya lebih cenderung dipengaruhi gaya arsitektur Belanda.

Berdasarkan tulisan Handinoto (1996) perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori.

2.1.       Perkembangan Arsitektur Kolonial Abad ke-19 (1850-1900)

Kelahiran kembali arsitektur Belanda sejak kemundurannya abad ke-19 dimulai oleh seorang Gothic Revealist yang bernama Peter J.H. Cuypres (1827-1921). Kemajuan ini mencapai puncaknya seiring dengan kemunculan aliran Art Nouveau H.P. Berlage (1856-1934), yang kemudian disusul oleh perkembangan aliran Amsterdam School dan De Stijl. Jadi, kemajuan atau kebangkitan arsitektur Belanda ini merupakan dampak kemajuan industri yang berlanjut di Eropa.

Menurut Handinoto (2007), meskipun tanda-tanda kebangkitan kembali arsitektur Belanda sudah terlihat pada 1865, gemanya belum sampai di tanah jajahannya, yaitu Hindia Belanda. Selain itu, akibat terpisahnya kehidupan masyarakat Belanda di Jawa dengan di negeri asalnya, terbentuklah gaya arsitektur yang tersendiri. Pada masa ini, gaya arsitektur kolonial Belanda sering disebut sebagai gaya Indishe Empire Style. Gaya arsitektur ini sebenarnya diambil dari gaya arsitektur Prancis yang pada waktu itu disebut sebagai gaya Empire Style

Gaya arsitektur The Empire Style merupakan suatu gaya arsitektur neo-klasik yang melanda Eropa (terutama Prancis, bukan Belanda) yang diterjemahkan secara bebas, khususnya di wilayah Hindia Belanda. Wujud dari hasil penyesuaian ini membentuk gaya bernuansa kolonial, yang disesuaikan dengan lingkungan serta iklim dan material lokal pada waktu itu (Handinoto, 2007)

Gaya arsitektur Indische Empire Style juga dipengaruhi oleh tipe arsitektur landhuis yag banyak terdapat di pinggiran kota Batavia pada abad ke-18 dan abad ke-19. Karakteristik arsitekturnya adalah:

·      denah simetri;

·      dinding tebal;

·      langit-langit tinggi;

·      lantai menggunakan marmer;

·      di tengah ruang terdapat central room besar yang berhubungan langsung dengan beranda depan dan beranda belakang. Beranda depan dan belakang tersebut biasanya sangat luas dan terbuka;

·      di ujung beranda terdapat kolom Yunani (Doric, Ionic, atau Corinthia) yang berfungsi sebagai pendukung atap yang menjulang ke atas;

·      keseluruhan bangunan biasanya terletak pada sebidang tanah yang cukup luas dengan posisi kebun di depan, samping, dan belakang.

Pada akhir abad ke-19, kota-kota sudah mulai padat dan arsitektur Indische Empire mulai menyesuaikan diri dengan kebutuhan pada masa itu. Penyesuaiannya yaitu:

·      barisan kolom yang dominan berada di beranda depan diganti dengan bahan pipa besi, sehingga tampak lebih langsing;

·      seng gelombang yang didatangkan dari luar negeri pada akhir abad ke-19 dimanfaatkan untuk melindungi jendela-jendela dan teras depan dari tempias air hujan;

·      penyangga overstek dari seng gelombang tersebut juga menggunakan pipa-pipa besi dengan motif keriting.

2.2.       Perkembangan Arsitektur Kolonial Peralihan Awal Abad ke-20 (1900-1915)

Gaya arsitektur kolonial di awal zaman modern masih memiliki pola simetri yang kuat, serta menggunakan banyak elemen arsitektur gaya Belanda, seperti unsur tower (elemen arsitektur menara yang biasanya dipakai pada pintu masuk atau bagian bangunan lainnya pada arsitektur). Moderenisasi yang terjadi dengan adanya penemuan baru dalam bidang teknologi dan perubahan sosial sebagai akibat dari kebijakan politik pemerintah kolonial saat itu mengakibatkan perubahan bentuk dan gaya dalam bidang arsitektur.

2.3.       Perkembangan Arsitektur Kolonial Tahun 1916-1940

Arsitektur kolonial yang berkembang pada masa ini memiliki cora arsitektur modern dengan ciri:

·      permainan bidang datar;

·      atap datar, dan;

·      penggunaan warna putih.

Menurut Handinoto, Soehargo, dan Paulus (2008), hal yang paling menonjol dari bangunan kolonal masa ini adalah penyesuaiannya terhadap iklim tropis lembab di Indonesia, sehingga secara keseluruhan, bentuk arsitektur in sangat berbeda jika dibandingkan dengan arsitektur modern yang ada di Belanda atau Eropa pada umumnya.

2.4.       Kebudayaan Indis di Indonesia

Konsep kebudayaan Indis di Indonesia merupakan bentuk pertemuan 2 budaya, antara budaya Eropa dan Jawa sejak abad ke-18 hingga abad ke-20.

Gaya hidup dan bangunan rumah Indis pada tingkat awal cenderung banyak bercirikan budaya Belanda (Soekiman, 2000). Susunan ruang khas ditandai dengan denahnya yang berbentuk simetri penuh, serta adanya teras yang mengelilingi denah bangunan untuk menghindari masuknya sinar matahari langsung dan tempias air hujan (Handinoto dan Hartono, 2007)

3.             Keindahan Arsitektur Bergaya Indis di Meester Cornelis (Jatinegara)

Setelah menelusuri apa itu arsitektur Kolonial, bagaimana perkembangannya, dan seperti apa kebudayaan Indis di Indonesia, kali ini kita akan mengunjungi bangunan-bangunan dengan keindahan arsitekturnya yang bergaya Indis, di Jatinegara, ‘tempat tinggal' peninggalan-peninggalan kolonial Belanda berada.

Kita juga akan menganalisis keindahan-keindahan arsitektur bergayan Indis pada bangunan-bangunan tersebut. Pembahasan ini mengacu kepada video yang telah diunggah ke YouTube oleh akun Cai.Elearning.Gunadarma dengan judul “vid arsitektur mester cornelees”. Berikut link-nya.

https://m.youtube.com/watch?v=RQZ4a0X4hDE

3.1.       SMPN 14 Jakarta

SMPN 14 Jakarta adalah sekolah yang terletak di Jl. Matraman Raya 177, Bali Mester, Jatinegara, Jakarta Timur. Dahulu, bangunan ini adalah kediaman petinggi perwira Zenit.

 Keindahan arsitektur bangunan ini dapat dilihat dari karakteristik ruang dan elemen bangunannya. Pada elemen bangunan, SMPN 14 Jakarta memiliki 2 daun pintu. Berbeda dengan sekolah pada umumnya pada zaman modern ini yang hanya memiliki 1 daun pintu dan kayu yang lebih kuat atau bahan lainnya yang juga lebih kuat. Selain itu, terdapat ventilasi di atas pintu dan jendela. Selanjutnya, dinding bangunan ini berbahan adonan semen.

Karakteristik ruang dengan angit-langit yang tinggi juga merupakan ciri arsitektur Indis yang terlihat di bangunan ini. Seperti bangunan peninggalan kolonial Belanda lainnya, langit-langit yang tinggi memberikan kesan megah pada suatu ruang. Karakteristik ruang lainnya yaitu lantai keramik yang digunakan di seluruh bangunan ini. Lantai keramik tersebut didatangkan dari Belanda.

3.2.       Stasiun Jatinegara

Bangunan selanjutnya, Stasiun Jatinegara. Setasiun ini merupakan salah satu dari 4 stasiun kereta api pertama yang dibangun di Jakarta.

Ciri yang sangat terlihat dari luar pada bangunan arsitektur bergaya Indis ini adalah bentuk bangunan geometris yang sederhana. Dibandingkan dengan arsitektur modern, bentuk ini merupakan bentuk yang unik. Pada fasad depan bangunan, terlihat bentuk segitiga dan lingkaran di bagian atap. Selain itu, terdapat deretan lubang tembok berbentuk persegi panjang vertikal yang ditutupi bentuk seperti jaring-jaring. Pada bagian dalam stasiun, dapat ditemukan tembok cor beton dan pilar-pilar berderet yang indah dengan gaya arsitektur Indis.

3.3.       Eks. Kodim 0505

Gedung Kodim 0505 sering disalahtafsirkan sebagai tempat peristirahatan Meester Cornelis Senen.

Pilar-pilar berukuran besar dapat langsung dilihat dari depan bangunan ini yang merupakan wujud pengaruh arsitektur neo-gotik yang sangat kuat pada bangunan ini. Pada elemen lain, bangunan ini didominasi oleh arsitektur Indis.

Sama dengan bangunan-bangunan sebelumnya, bangunan ini juga memilik bentuk geometris. Bangunan ini juga memiliki 2 daun pintu dan jendela berukuran besar. Pada jendela juga terdapat kanopi peneduh.

3.4.       Kawasan Pecinan

Terdapat juga kawasan pecinan, yaitu kawasan tempat tinggal orang Cina. Masih dalam gaya arsitektur Indis, pada kawasan ini, dapat ditemukan jendela dengan kerangka yang sederhana, yaitu kayu vertikal dan horizontal yang berpotongan di tengah. Di kedua sisi jendela, terdapat ventilasi jendela yang terbuat dari kayu. Kesatuan jendela, keranganya, dan ventilasi di kedua sisinya merupakan kesederhanaan bentuk yang menjadi kesatuan dan mencirikan karakter arsitektur yang indah.

Dalam video tersebut, terlihat bentuk atap dan pola susunan dinding yang bersudut-sudut seperti segilima atau segienam. Terlihat unik jika dilihat dari jalan, seperti dalam video tersebut.

3.5.       Gereja Koinonia

Gereja ini dikenal sebagai Gereja Bethel. Pada tahun 1960-an, nama gereja ini berubah menjadi Gereja Koinonia yang berarti persekutuan. Diperkirakan, bangunan ini dibangun pada abad ke-20-an. Dibandingkan dengan bangunan-bangunan pada penjelasan sebelumnya, Gereja Koinonia merupakan bangunan bergaya arsitektur Indis yang lebih megah.

Fasad bangunan ini juga memiliki bentuk geometris dan lubang-lubang pada dinding. Jendela dengan dua daun jendela dan pintu berdaun dua juga masih ditemukan pada bangunan ini. Di sisi lain, terdapat atap berbentuk segitiga tajam yang berderet. Selain keindahan yang dihasilkan arsitektur Indis, bangunan ini juga didukung dengan keindahan religius agama Kristen.


Sampai di sini perjalanan kita mengkaji keindahan arsitektur bergaya Indis di Meester Cornelis (Jatinegara). Manusia dan keindahan adalah kedua hal yang tidak terpisahkan. Keindahan adalah pemenuh kebutuhan psikologis manusia. Keindahan adalah bagian dari budaya. Oleh karenanya, ia berpengaruh dalam kebudayaan dan kehidupan manusia.

Sampai jumpa!


TERIMA KASIH


Dr. Widyo Nugroho, M.M.
Cai.Elearning.Gunadarma
Universitas Gunadarma


REFERENSI


https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jatinegara,_Jakarta_Timur

https://www.youtube.com/watch?v=RQZ4a0X4hDE

http://repository.petra.ac.id/16174/1/Publikasi1_06025_1049.pdf







Komentar

Postingan Populer